Pendahuluan
Allah, subhanahu wa ta’ala
telah mengajarkan ‘uluwwul himmah kepada hamba-Nya yaitu Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajarkannya
kepada umatnya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda seandainya hari kiamat akan tiba besok,
sedang dalam genggaman kita ada biji yang ingin kita tanam, maka Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam memerintahkan kita untuk tetap menanamnya. Ini menunjukkan
bahwa kita harus memiliki semangat dan tekad yang kuat dalam segala hal
sekalipun kemungkinan yang ada untuk
mencapainya sangat kecil.
Pembahasan mengenai ‘uluwwul
himmah ini menjadi penting dan perlu dipelajari karena setiap amalan perlu
ditumbuhkan dan didukung dengan motivasi yang tinggi dan dilaksanakan dengan
penuh kesunggguhan agar hasil yang dicapai bisa maksimal dan sempurna.
Sebagai contoh, orang yang shalat dengan semangat dan penuh kesungguhan
maka shalatnya akan baik dan benar serta lebih besar peluang untuk mencapai
kekhusyu’an, sebaliknya orang yang shalat dengan malas-malasan maka shalatnya
jadi tidak karuan dan tidak khusyu’. Begitu juga pada amalan-amalan yang lain.
Pengertian ‘Uluwwul Himmah
Secara bahasa ‘uluw artinya: tinggi; himmah artinya: semangat, tekad(ambisi),
motivasi. Sehingga ‘uluwwul himmah dapat
dimaknai sebagai motivasi, semangat, atau tekad yang tinggi atau kuat. Bisa
juga disebut Al-Himmah Al-‘Aaliyah,
dan maknanya sama. Maksudnya adalah semangat, tekad atau ambisi yang kuat yang
tertanam dalam diri untuk mencapai sesuatu (target atau cita-cita) yang besar.
Para ‘ulama telah memaparkan pengertian ‘uluwwul himmah, diantaranya adalah
Imam Ibnul Qoyyim yang
menyatakan:
“Jiwa ini tidak akan berhenti sebelum sampai pada Allah
ta’ala, dan tidak bisa diganti dengan sesuatu selain Allah, dan tidak rela
dengan pengganti selain Allah, dan tidak akan menjual bagian dari ketenangannya
dan kebahagaiaannya untuk dekat dengan Allah, senang dengan Allah dan tenteram
dengan Allah dengan kenikmatan-kenikmatan yang bersifat hina dan sementara”
Maksudnya adalah
kenikmatan dekat dengan Sang Pencipta yang menguasai alam semesta, yaitu Allah
subhanahu wa ta’ala.
Orang yang memiliki himmah yang tinggi maka puncak kepuasan dan
kebahagiaannya hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Orang seperti ini
diibaratkan seperti burung yang terbang tinggi, yang tidak akan menghadapi
rintangan-rintangan yang kecil, ia akan lebih fokus untuk mencapai targetnya
dan tidak memberikan perhatian yang berlebih pada masalah-masalah yang kurang
penting. Sebaliknya, orang yang himmahnya rendah ia diibaratkan burung yang
terbang rendah, sehingga rintangannya semakin banyak (seperti bangunan, pohon,
tiang dan sebagainya) dan ia akan disibukkan dengan masalah kecil yang tidak
seharusnya menyita perhatiannya. Misalnya, terlalu berlebihan dalam menanggapi
orang lain yang hasad atas keberhasilannya, padahal hal seperti ini tidak perlu
ditanggapi. Sebab hasad itu selalu mengiringi kesuksesan setiap orang, syeikh Muhammad
bin Muhammad Al-Mukhtar As-Sankidi, syeikh termuda dimasjid Nabawi menyatakan:
“Setiap kali bertambah kenikmatan seseorang, maka bertambah pula hasadnya”
Dalam pembahasan ini, ‘uluwwul
himmah yang dimaksud adalah himmah yang orientasinya bersifat ukhrawi dan bukan duniawi, atau kalaupun hal itu bersifat duniawi maka tentunya urusan
dunia yang sesuai syari’at. Sebab
pembahasan pada dua orientasi yang berbeda ini adalah sangat berbeda.
Pembagiannya
Imam Ibnul Jauzi, rahimahullah, mengatakan: “Himmah itu lahir seiring
dengan lahirnya manusia dan disifati dengan dua sifat, yaitu himmahnya tinggi
atau himmahnya rendah”. Dari pembahasan ini dapat kita simpulkan bahwa himmah
itu hanya disifati dengan dua sifat, yaitu tinggi atau rendah, dan tidak ada sifat
ketiga (sedang-sedang). Dalam diri
seseorang hanya akan ada salah satu diantara dua sifat tersebut, jika tidak
tinggi maka rendah.- Karenanya pada pembahsan berikutnya akan kami uraikan
pembahasan mengenai dunuwwul himmah
(himmah yang rendah),insyaAllah-.
1.
Berdasarkan asalnya, himmah yang tinggi ada yang
sifatnya pembawaan sejak lahir yang disebut dengan himmah wahbiyah, dan ada pula yang tumbuh karena dilatih yang
disebut dengan himmah kasbiyah. Yang
ideal adalah, orang yang memilki himmah yang tinggi sejak lahir dan senatiasa
memupuknya agar tetap terjaga. Sebab himmah ini kadang bisa naik dan kadang
bisa turun. Sebagai contoh ada orang yang tadinya bersemangat dalam beribadah,
namun tiba-tiba menjadi lesu atau sebaliknya.
2.
Jika dikaitkan antara himmah dengan potensi yang
dimiliki manusia, ada yang membagi macam orang yang memiliki himmah menjadi
empat macam;
a. Orang yang potensinya bagus dan himmahnya juga besar, ia
menyadari bahwa kemampuannya(potensi) bagus dan ia memiliki cita-cita dan
ambisi yang besar. Sehingga
dengan keduanya ia dapat mencapai cita-cita besar yang diinginkannya.
Contoh orang yang
memilki himmah yang besar dan kuat adalah ketika pada masa tabi’in, ada empat
orang yang berbincang-bincang dipelataran Masjidil Haram, mereka adalah Mus’ab
ibnu Zubair, Urwah ibnu Zubair, Marwah ibnul Hakam dan ‘Abdullah ibnu ‘Umar. Tiba-tiba
Mus’ab ibnu Zubair meminta kepada ketiga sahabatnya untuk mengutarakan
cita-citanya, maka yang lain pun mempersilahkan agar dia yang pertama
menyebutkan cita-citanya.
Mus’ab ibnu Zubair
mengatakan bahwa ia ingin menjadi gubernur Iraq dan menikahi Sukainah bintu
Husain serta ‘Aisyah bintu Thalhah bin’Ubaidillah. Dan pada akhirnya
cita-citanya tercapai, dia menjadi gubernur Iraq
juga menikahi Sukainah bintu Husain dan ‘Aisyah bintu Thalhah bin ‘Ubaidillah
dengan mahar masing-masing lima
ratus ribu dirham.
Kemudian ‘Urwah
bin Zubair mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang yang faqih dan ahli
hadits, dan pada akhirnya kita kenal nama ‘Urwah ibnu Zubair sebagai seorang ahli
hadits dan seorang faqih pada zaman tabi’in. Banyak hadits yang diriwayatkan
melalui jalur ‘Urwah bin Zubaur.
Setelahnya Marwah
ibnul Hakam mengutarakan bahwa ia bercita-cita ingin menjadi khalifah, dan kemudian kita kenal pada masa kekhalifahan Bani
Umayah salah seorang khalifahnya bernama
Marwah ibnul Hakam.
Yang terakhir ‘Abdullah ibnu ‘Umar yang bercita-cita ingin masuk surga.
Tentunya keberhasilan mereka dalam mencapai cita-citanya bukan tanpa usaha dan
hanya bergantung pada takdir Allah, semuanya perlu usaha yang sungguh-sungguh
dan semangat yang tinggi, disamping juga didukung dengan potensi atau kemampuan
yang ada.
b.
Orang yang potensinya bagus tapi
himmahnya rendah, orang seperti ini memiliki kemampuan untuk mencapai cita-cita
yang besar , akan tetapi dia hanya mencukupkan diri dengan cita-cita atau
target yang kecil. Ada
pepatah arab mengatakan
“Aku tidak melihat dalam diri seseorang suatu aib sebagaimana tidak
mampunya orang yang sanggup untuk meraih kesempurnaan”
Maksudnya, orang yang sebenarnya sanggup mencapai kesempurnaan tetapi
mencukupkan dengan yang biasa-biasa saja. Contohnya orang yang seharusnya bisa
mencapai nilai mumtaz(sempurna),
tetapi ia merasa cukup dengan nilai jayyid(baik),
atau orang yang seharusnya bisa menjadi pemimpin besar, namun ia merasa cukup
dan puas dengan posisi yang rendah.
Orang seperti ini sebaiknya berusaha untuk menumbuhkan
motivasi yang tinggi agar ambisinya sesuai dengan potensinya.
c. Orang yang
potensinya terbatas dan himmahnya juga menyesuaikan, maksudnya seseorang yang
menyadari dengan keterbatasan kemuampuan yang ia miliki dan ia memilki
target-target atau cita-cita yang sesuai dengan kemnampuannya. Sehingga orang
ini memiliki cita-cita yang sekiranya bisa dicapai dengan kemampuan yang ada,
atau bisa kita sebut orang yang realistis.
d.
Orang yang potensi atau
kemampuannya terbatas, namun himmahnya terlalu tinggi atau berlebihan, ia membuat
harapan yang terlampau muluk dan kalau diperhitungkan sangat mustahil bagi
orang tersebut untuk mencapainya dengan kemampuan yang ada. Orang yang seperti
ini biasanya dihinggapi penyakit yang namanya fakhur atau mutakabbir (sombong),
sedang dalam hal ilmu disebut ta’aalum (sok
tahu). Pada akhirnya orang ini akan tenggelam dalam angan-angan yang tinggi
tapi mustahil untuk mencapainya.
Faedah Memiliki Himmah yang Tinggi
Tinggi atau rendahnya himmah
sangat mempengaruhi kinerja dan pola hidup seseorang. Orang yang memiliki
himmah(ambisi/tekad) yang tinggi, hidupnya akan lebih teratur, kegiatnnya lebih
tersusun, tujuannya lebih jelas dan hidupnya lebih bersemangat. Orang dengan
himmah yang tinggi akan mengatur setiap kegiatannya agar benar-benar bermanfaat
dan mendukung tercapainya harapan yang ia cita-citakan. Ia akan meninggalkan
kegiatan-kegiatan kurang bermanfaat dan sia-sia apalagi yang merugikan. Orang
yang memiliki himmah yang tinggi akan memiliki target yang besar dan tujuan
yang agung kemudian konsentrasi pada tujuan yang ingin dicapainya, serta
melakukan segala hal yang kiranya menjadi syarat terwujudnya tujuan tersebut.
Seorang muslim yang memiliki
himmah yang ‘aaliyah, yang tujuan
hidupnya hanyalah Allah semata, ingin menggapai ridho-Nya dan mendapatkan
surga-Nya, akan melaksanakan setiap perintah-perintah-Nya tanpa sedikitpun
inkar dan tidak akan melanggar larangan-larangan-Nya. Segala sesuatu yang dapat
menghambat tercapainya tujuan ini akan ia tinggalkan.
Himmah juga merupakan awal
atau fondasi suatu perkara. Mamsat Ad-Dai Nawari berkata:
“Jagalah himmahmu,
sesungguhnya himmah adalah awal dari setiap perkara”
Himmah yang tinggi akan
melahirkan sesuatu yang tinggi, sedang himmah yang rendah hanya akan melahirkan
sesuatu yang kecil dan kurang berarti.
Ada juga ungkapan dari
beberapa ‘ulama yang mengatakan:
“Seandainya para
penguasa(raja-raja) dan anak-anak penguasa(anak-anak raja) mengetahui
kenikmatan yang kami rasakan, niscaya mereka akan mereka akan merebutnya dengan
pedang-pedang mereka”
Yang dimaksud adalah
kenikmatan bisa dengan dengan Allah yang Maha Perkasa, Sang Penguasa alam
semesta.
Ada sebuah kisah, konon kisah
ini berasah dari Daulah Qaramithah, daulah ini merupakan salah satu dari cabang
Syi’ah. Suatu ketika daulah ini dimusnahkan karena ajarannya yang sesat. Dari
peristiwa pemberangusan tersebut penduduk laki-laki yang selamat hanya tiga
orang. Kemudian salah satu dari ketiga orang tersebut pergi kesuatu daerah dan
dia bertekad ingin menyebarkan faham syi’ahnya dan membangun kembali negara
syi’ah yang telah dimusnahkan. Akhirnya didaerah tersebut ia memilih tinggal
disebuah masjid dan menjadi seorang ahli ibadah. Ia tinggalkan segala bentuk
kehidupan duniawi dan menghabiskan waku hanya untuk beribadah di masjid. Ia
bertekad untuk membangun kepercayaan masyarakat agar mereka yakin bahwa orang
tersebut memang adalah seorang ahli ibadah.
Setelah sekian lama menetap didaerah
tersebut, masyarakat mulai mengakuinya sebagai ahli ibadah, hingga akhirnya
mereka memintanya untuk menjadi pengajar bagi anak-anak mereka agar mengajarkan
ilmu agama. Akhirnya secara diam-diam anak-anak tersebut ia kader dengan
faham-faham syi’ah-nya yang sesat.
Suatu hari ia ingin mencari
kerja, dan tidak diragukan lagi bahwa setiap orang pasti akan sangat senang
memiliki seorang ahli ibadah bekerja ditempatnya. Akhirnya orang tersebut
mendapatkan pekerjaan yang dicarinya, namun sebelum bekerja ia mengajukan
persyaratan, yakni: agar diberi waktu istirahat untuk melaksanakan shalat
Dhuhur dan ia hanya meminta gaji sebesar satu dirham. Tentu saja orang yang
memberinya pekerjaan sangat senang dengan persyarat tersebut, karena syaratnya
begitu mudah bahkan dia hanya minta gaji satu dirham yang jelas sangat
menguntungkan. Namun timbul sengketa ditengah masyarakat, mereka saling berebut
agar orang ini bekerja ditempatnya. Akhirnya muncul kesepakatan bahwa lebih
baik orang ini diserahi tugas mengajar anak-anak dan digaji bersama-sama.
Kemudian orang ini setuju dengan syarat, ia hanya digaji satu dirham. Lagi-lagi
syarat yang sangat mudah dan menguntungkan. Sebenarnya, dibalik syarat yang
sederhana itu ia ingin membangun kepercayaan masyarakat bahwa ia benar-benar
seorang yang ahli ibadah, zuhud, tawadhu’ dan tulus. Rencana pun berhasil.
Suatu hari masyarakat ingin mengganti
gubernur yang lama karena sudah lanjut usia, dan masyarakat sepakat bahwa ahli
ibadah tersebut yang paling pantas untuk menjadi gubernur daerah itu. Pada akhirnya,
setelah ia mendapatkan kekuasaan, kekuatan dan pasukan, ia pun mulai
menunjukkkan aqidah syi’ah-nya. Semua orang ahlus sunnah yang menentangnya didaerah
tersebut ia bunuh, dengan bantuan kader-kadernya (anak-anak penduduk yang belajar
padanya) ia berhasil menguasai daerah tersebut dan menyebarkan faham
syi’ah-nya. Akhirnya berdirilah negera syi’ah yang ia cita-citakan. Seorang
diri, mulai dari titik awal, dan berbekal tekad serta ambisi yang kuat ia
berhasil mewujudkan cita-citanya: berdirinya kembali daulah yang berfaham
syi’ah.
Faktor-faktor himmah
menjadi tinggi
Adapun beberapa faktor agar
himmah menjadi tinggi diantaranya:
- Tarbiyah atau pendidikan yang shahih, tarbiyah yang paling pertama adalah tarbiyah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh ustadz Faudzil Adzim yang berjudul ”Bukan Salah Kodok”, diungkap tentang kesalahan besar konsep pendidikan dimasyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, yang mengahasilkan orang-orang yang malas, mudah putus asa, sombong dan merasa besar, tidak mau mengakui kesalahan sendiri dan selalu mencari kambing hitam, dan banyak lagi hasil-hasil pendidikan yang bisa kita saksikan sekarang. Karenanya konsep terbiyah kepada anak harus benar-benar diperhatikan dan hati-hati. Salah satu cara pendidikan yang bisa kita lakukan untuk anak didik kita adalah dengan memberikan contoh yang baik untuk mereka, karena anak didik akan belajar langsung dengan menyaksikan contoh-contoh yang kita berikan, mulai dari hal-hal yang kecil sampai hal yang besar. Jika kita mengajarkan tentang semangat dan motifasi yang tinggi kepada mereka, maka merekapun akan memiliki semangat dan motifasi yang tinggi dan besar.
- Perlunya pendidik yang bisa menjadi qudwah atau teladan bagi anak didik dan orang lain. Karena contoh-contoh nyata lebih besar pengaruhnya daripada ucapan-ucapan tanpa amalan. Dapat kita saksikan sekarang bagaimana para tokoh-tokoh terdahulu yang sangat mengena contoh-contohnya sekalipun tidak banyak teori dan bisa jadi secara keilmuan tidak lebih tinggi daripada kita. Bagaimana mereka menunaikan amanah, kejujurannya, sopan santunnya, tawadhu’nya, sholat malamnya, keramahannya dan lain sebagainya yang senantiasa terkenang dalam benak kita meski tidak banyak bicara.
- Ilmu, semakin tinggi ilmu yang dimiliki akan memotifasi agar himmah semakin tinggi. Karena semakin bayak wawasan, pengetahuan yang luas, relasi yang banyak, keterampilan yang dimiliki tentu akan menjadikan orang tersebut himmahnya lebih tinggi dari pada yang keilmuannya kurang. Akan tetapi ilmu ini harus diiringi dengan faktor yang keempat, yaitu:
- Mujahadah (kerja keras), dalam surat Al-‘Ankabut, ayat 69 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dijalan kami, akan kami tunjukkan jalan-jalan kami). Sekalipun ilmunya banyak dan wawasannya luas tetapi jika tidak dibarengi dengan kerja keras hanya akan menjadi pengetahuan yang kurang bermanfaat. Seorang penuntut ilmu yang memiliki kitab, akan tetapi tidak pernah dibaca, tidak bersungguh-sungguh dalam membaca dan tidak istiqomah akan kurang bermanfaat, karenanya perlu mujahadah.
- Menjadikan akhirat satu-satunya tujuannya, Rasulullah bersabda:
من كانت الأخرة همّه جعل الله غناه
في القلب وجمع الله له .....وأتا...الدّنبا
وهو .......
“Barang siapa menjadikan akhirat
sebagai perhatiannya, Allah jadikan kekayaannya didalam hati, dan Allah
kumpulkan baginya apa-apa yang berserakan dan dunia akan datang kepadanya tanpa
dia kehendaki (maksudnya: datang dengan sendirinya)”.
Karenanya hidupnya akan tenang
dan tentram serta tidak terbebani banyak masalah dunia. Sebaliknya mengenai
dunia Rasulullah telah bersabda:
ومن كانت الدّنيا همّه جعل الله
فقره بين عينيه و................ولم يأته من الدّنيا إلّا ما قُدّر له
”Dan barang siapa menjadikan
dunia sebagai perhatiannya, Allah jadikan kefakiran dikedua matanya dan Allah
pecahkan segala yang bertebaran......................., dan dunia tidak akan
datang kepadanya kecuali apa yang telah ditakdirkan baginya”.
Karenanya orang yang seperti
ini tidak akan pernah merasa puas dalam mengejar dunia.
- Selalu mengingat kematian dan memperpendek angan-angan.
- Doa yang tulus kepada Allah agar menguatkan himmah kita, sebab hati manusia seluruhnya berada dalam kuasa Allah.
قلوب بني آدم بين أصبعَين من أصابع
الرّحمان
“Hati Bani Adam berada diantara dua jari
dari jari-jari Ar-Rahman(Allah)”.
Salah satu doa yang sudah
sering kita baca seperti:
اللّهمّ أعنّي على ذكرك وشكر و حسن عبادتك
- Membaca Al-Qur’an dan tadabbur Al-Qur’an, ketenangan akan dirasakan oleh orang yang rajin membaca Al-Qur’an. Selain itu tadabbur Al-Qur’an hanya bisa dipahami oleh orang yang sering membaca Al-Qur’an, karena kita bisa merasakan dan membedakan bacaan orang yang rajin membaca Al-Qur’an dan bacaan orang yang jarang membaca Al-Qur’an sekalipun bacaaannya bagus dan dilagukan.
- Hijrah (berpindah) ketempat yang kondusif, syariat hijrah masih akan berlaku sampai hari kiamat. Hijrah ada dua jenis:
*Hijrah fisik: berpindah dari
tempat yang satu ketempat yang lain.
*Hijrah
sifat: berpindah dari sifat yang tercela menuju sifat yang terpuji tanpa
berpindah tempat.
Jenis hijrah yang kedua ini
membutuhkan keikhlasan dan kesungguhan yang lebih besar daripada bentuk hijrah
yang pertama karena bisa jadi lingkungan yang ada tidak mendukung untuk
berubah.
- Banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki himmah yang tinggi, dengan bergaul dengan orang–orang yang bersemangat tinggi akan mempengaruhi pola hidup dan semangat kita. Kita akan terpengaruh untuk juga memiliki semangat dan motifasi yang tinggi seperti teman-teman kiata yang bersemangat. Karena besarnya pengaruh teman ini, bahkan ibnu Mas’ud pernah mengatakan:
اعتفر الرجل بمن يصاحبه فإنّما
يصاحب الرجل بمن هو مثله
“Perhitungkanlah seseorang
berdasarkan dengan siapa dia bergaul, karena seseorang hanya akan bergaul
dengan orang yang semisalnya”.
Karenanya seseorang tidak akan
betah bergaul dengan orang yang tidak cocok, orang yang baik tidak akan betah
bersanding dengan orang yang tidak baik begitu pula sebaliknya. Umar bin Khatab
pernah mengatakan:
ما أُُعطي عبد بعد الإسلام من أهل صالح
“Tidaklah seseorang diberikan
kebaikan setelah islam ini yang lebih baik daripada saudara yang shalih”.
- Membaca sirah nabi,
- membaca kisah-kisah ulama salaf,
- Menyadari kekurangan dan bersungguh-sungguh untuk meningkatkannya,
- Bertekad untuk meraih puncak dan selalu punya rasa ingin tahu,
- Membuat skala prioritas dan visi (tujuan), kemudian mempersiapkan diri untuk mecapai tujuan.
- Berusaha menghindari pola hidup mewah dan berlebihan.
- Melihat kepada yang lebih tinggi dalam hal akhirat dan melihat kepada yang lebih rendah dalam hal dunia.
- Menumbuhkan rasa tanggung jawab, bahwa seluruh orang memiliki tanggung jawab dalam segala hal.
- Bersaing dalam semangat dan kebaikan.
- Memanfaatkan setiap kesempatan yang ada,
- Memanfaatkan waktu sebaik mungkin,
- Tawakkal kepada Allah,
5 komentar:
Assalamu'alaikum bang, salam kenal?
Jazaakallah
Jazaakallah
Masyaallah,, semoga abang Husnul Anam berada terus di atas Himmah yang tinggi untuk akhirat. tulisan ini seperti jawaban atas pertanyaan saya selama ini... semoga tulisan ini menjadi amal jariyah.. salam kenal..
Jazakumullah Pak, mohon izin ikut membaca, sangat bermanfaat
Posting Komentar